Oleh : Dr. H. Ahsanul Khalik/Staf Ahli Gubernur Bidang Sosial dan Kemasyarakatan
Di tanah NTB, cerita tentang tambang bukanlah kisah baru. Puluhan tahun ia hidup bagai bayang-bayang, menggoda dengan janji emas, tapi terkadang menyisakan luka di tubuh bumi dan perih di dada rakyat. Tambang ilegal tumbuh di sela-sela hukum, dinikmati segelintir orang, sementara masyarakat lokal hanya menerima debu dan kerusakan.
Maka ketika gagasan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dilahirkan, harapan pun mekar. Inisiatif yang digagas Kapolda NTB dan kemudian ditopang oleh Gubernur, memang menjadi suluh baru, jalan terang yang hendak menggantikan gelapnya praktik lama. Tidak salah bila Guru Besar Unram, yang biasa kita panggil Prof. Ikin (penulis juga banyak belajar dari cara berfikir dan keilmuan beliau) menyambutnya dengan antusias dan mendesak percepatan.
Karena siapa pun yang mencintai negeri tentu tak sabar melihat rakyatnya berdiri tegak dengan hak atas sumber daya di tanah sendiri.
Namun, di balik gegap gempita itu, ada sebuah kearifan yang perlu kita rawat, bahwa tidak semua yang besar harus dijalankan dengan tergesa, dan tidak semua yang indah boleh dilahirkan tanpa persiapan.
Antara Semangat dan Tanggung Jawab harus berjalan selaras. Kita sudah menyaksikan Gubernur NTB, pada 12 Juli 2025, telah menyerahkan izin untuk pembentukan koperasi kepada 16 calon koperasi tambang rakyat. Ini bukan angka kecil.
Dari 60 koperasi yang mendaftar, baru 16 yang benar-benar menuntaskan syarat administratif, teknis, dan lingkungan. Mereka dipilih bukan untuk menghalangi yang lain, melainkan untuk menjadi pilot project, teladan yang akan diuji sebelum pintu lebih lebar dibuka.
Seorang petani tentu tahu, benih yang baik pun tak bisa ditebar sembarangan. Ada tanah yang harus digemburkan, air yang harus dijaga alirannya, dan waktu yang harus diserahkan kepada musim. Begitu pula dengan izin tambang rakyat ini, ia bukan sekedar lembar kertas, tetapi ia merupakan janji antara pemerintah, masyarakat, dan alam.
Ada aturan yang tak boleh diabaikan. UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, PP No. 96 Tahun 2021, hingga Permen ESDM No. 7 Tahun 2020, semuanya menuntut syarat yang ketat. IPR hanya bisa diberikan jika koperasi memiliki wilayah yang sah, rencana kerja yang jelas, serta komitmen menjaga lingkungan.
Tanpa itu, legalisasi hanya akan menjadi stempel pada praktik lama, tambang tetap beroperasi liar, hanya berganti baju.
Bukankah lebih bijak jika kita memastikan setiap koperasi benar-benar siap, agar izin menjadi berkah, bukan petaka baru?
Gubernur dalam hal ini tentunya menjalankan politik kehati-hatian. Boleh jadi memang pada sebagian kita, kehati-hatian itu tampak seperti kelambanan. Tapi sesungguhnya, di situlah letak politik kebijaksanaan.
Gubernur tidak sedang menunda, melainkan menyiapkan landasan yang kokoh. Apa gunanya percepatan jika yang lahir adalah konflik horizontal, lingkungan rusak, atau koperasi yang hanya menjadi kedok kepentingan pribadi?
Lebih baik melangkah setapak demi setapak, asal jejaknya jelas, arah tujuannya benar, dan rakyat benar-benar menjadi tuan di tanah sendiri.
Penulis memiliki kesepahaman dengan Prof. Ikin dalam hal pentingnya kritik, karena kritik dari para intelektual sangatlah penting, sebab ia menjaga pemerintah agar tidak terlena.
Tetapi, pada sisi yang lain penting juga untuk kita memahami bahwa dalam urusan sebesar tambang rakyat, ada dimensi hukum, sosial, dan ekologis yang tak boleh diabaikan.
Gagasan besar perlu dipeluk dengan semangat, namun juga dipandu dengan kesabaran. IPR berbasis koperasi di NTB adalah yang pertama di Indonesia. Ia bukan sekedar izin, melainkan model baru yang akan menjadi rujukan nasional. Karena itu, membangunnya harus dengan hati-hati, seperti seorang tukang kayu yang menancapkan pasak agar rumah tidak roboh di kemudian hari.
Sejatinya, Gubernur dan Prof. Ikin tidak sedang berjalan di jalan yang berbeda. Keduanya menatap arah yang sama, bahwa rakyat NTB berdaulat atas tanah dan sumber daya mereka sendiri. Perbedaan hanya terletak pada irama langkah, ada yang ingin berlari, ada yang memilih berjalan pasti.
Dan bukankah negeri ini lebih indah bila kita berjalan serentak? Dengan gagasan yang bernas, kritik yang tajam, serta kebijakan yang berhati-hati, NTB sedang menulis bab baru tentang tambang rakyat yang legal, bersih, dan berpihak pada rakyat.
*Wallahu a'lam bishawab.*
0Komentar