![]() |
Dr.Iwan Harsono |
MATARAM-ENTEBEKITA.COM-Masuknya sejumlah jaringan kuliner nasional seperti Waroeng Snoepen, Haraku Ramen, The People’s Cafe (Ismaya Group), Cabe Merah, hingga Amanda Brownies ke Kota Mataram bukan sekadar ekspansi bisnis biasa. Ini adalah indikator ekonomi penting.
Fenomena ini mencerminkan meningkatnya daya tarik Mataram sebagai kota dengan basis konsumen yang kuat dan prospek pertumbuhan yang menjanjikan bagi investor, khususnya di sektor makanan dan minuman (F&B).
Beberapa di antaranya bahkan menjadikan Kota Mataram sebagai lokasi outlet perdana mereka di Pulau Lombok—misalnya The People’s Cafe yang membuka cabang ke-57 di Lombok Epicentrum Mall (LEM) pada April 2025. Disusul Cabe Merah yang membuka cabang ke-13 secara nasional, serta Amanda Brownies yang meresmikan outlet ke-149-nya di kota ini lengkap dengan konsep mini café. Terbaru, Haraku Ramen juga membuka cabang ke-15 mereka di LEM pada awal Agustus 2025.
Dari kacamata ekonomi regional, ekspansi tersebut menunjukkan bahwa Kota Mataram kini telah masuk radar pemodal nasional. Mengapa? Karena ada dua prasyarat dasar yang membuat sebuah kota menarik bagi jaringan kuliner besar: pertumbuhan kelas menengah perkotaan dan konsentrasi populasi dengan preferensi konsumsi modern. Kedua hal ini terlihat nyata di Kota Mataram pascapandemi—didukung oleh mobilitas masyarakat, pertumbuhan sektor jasa, dan peningkatan pendapatan disposabel rumah tangga.
Dampak positif dari fenomena ini cukup luas. Pertama, kehadiran outlet nasional ini membuka lapangan kerja formal bagi tenaga muda lokal, terutama di bidang layanan, produksi makanan, dan manajemen outlet. Kedua, mereka berkontribusi pada pendapatan asli daerah (PAD) melalui pajak restoran dan retribusi lainnya.
Ketiga, mereka membawa standar pelayanan, kebersihan, dan efisiensi operasional yang bisa menjadi rujukan pelaku UMKM lokal untuk meningkatkan daya saing mereka.
Namun, tentu saja, tidak tanpa risiko. Kehadiran jaringan besar berpotensi mendisrupsi pelaku usaha mikro dan kecil yang belum siap bersaing, terutama dari sisi modal, teknologi, dan skala produksi. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan afirmatif dari pemerintah kota—misalnya insentif, pelatihan digitalisasi UMKM, dan kemitraan rantai pasok—agar pelaku lokal tidak tertinggal.
Secara keseluruhan, ekspansi ini menjadi momentum penting: Kota Mataram tidak hanya menjadi pusat administrasi dan pendidikan, tetapi juga mulai bertransformasi menjadi pusat konsumsi regional yang diperhitungkan. Ini menandakan bahwa struktur ekonomi kita semakin matang dan terbuka bagi investasi modern. Dengan tata kelola yang inklusif, sektor kuliner bisa menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi perkotaan yang menjangkau banyak lapisan masyarakat.
"Urban consumption is a reliable proxy for economic dynamism," demikian dikemukakan oleh Prof. Richard Florida, pakar ekonomi perkotaan. Maka, geliat sektor kuliner di Kota Mataram ini patut dilihat sebagai bagian dari dinamika ekonomi lokal yang tumbuh, bukan sekadar tren gaya hidup belaka.(*)
Iwan Harsono
Assosiate Professor Ekonomi Pengembangan Regional Universitas Mataram
0Komentar