SUATU siang di sebuah desa pelosok, seorang ibu paruh baya menyodorkan secarik kertas lusuh kepada anggota dewan yang datang berkunjung.
Isinya sederhana: permintaan bantuan memperbaiki jalan setapak yang setiap musim hujan berubah menjadi kubangan. Jalan itu adalah satu-satunya akses menuju sekolah dasar tempat cucunya belajar.
“Kalau hujan, anak-anak sampai basah kuyup, Nak… jalannya licin,” katanya lirih.
Inilah wajah asli pokok pikiran pokir yang jarang terlihat di headline media. Di meja pembahasan, pokir tidak sekadar angka di APBD, tapi kisah hidup ribuan orang yang menaruh harapan.
• Pokir: Dari Aspirasi ke Aksi
Pokir lahir dari proses dialog dan penyerapan aspirasi. Ia legal, diatur dalam regulasi, dan menjadi salah satu indikator kinerja legislatif. Memang, tidak semua pokir dapat terealisasi—terkadang terganjal keterbatasan anggaran atau penyesuaian prioritas pembangunan.
Namun, di lapangan, pokir telah menjelma menjadi jalan desa yang menghubungkan dusun terpencil, sumur bor yang mengalirkan air bersih, peralatan nelayan yang meningkatkan penghasilan, hingga sarana olahraga yang menghidupkan semangat anak-anak muda.
• Antara Kritik dan Generalisasi
Belakangan, istilah pokir sering muncul dengan nada negatif. Seolah setiap pokir identik dengan kavling proyek atau bagi-bagi fee. Kritik tentu diperlukan, karena pengawasan publik adalah bagian penting dari demokrasi.
Namun, men-general-kan seluruh proses dan pelaku, sama saja menutup mata terhadap anggota dewan yang bekerja sungguh-sungguh dan menepati amanah rakyat.
Pokir tidak berjalan sendiri. Setiap pokir yang masuk ke APBD hanya dapat dilaksanakan oleh eksekutif. Jika ada persoalan, yang dibenahi adalah tata kelolanya—bukan dengan menyalahkan satu pihak semata.
• Membenahi, Bukan Membelah
Solusi untuk menghindari “pokir becek” bukanlah saling serang di ruang publik, melainkan memperkuat sinergi. Pokir dan Musrenbang perlu dipadukan agar aspirasi warga sejalan dengan rencana pembangunan daerah.
Transparansi realisasi, audit terbuka, dan pengawasan bersama akan mengeringkan “lumpur persepsi” yang menempel pada pokir.
• Menutup dengan Harapan
Kita semua punya tujuan yang sama: memastikan aspirasi rakyat tidak berhenti di meja rapat.
Semoga suatu hari nanti, berita tentang pokir tidak lagi soal “siapa yang salah”, tetapi tentang “berapa banyak mimpi rakyat yang sudah diwujudkan.”
Karena pada akhirnya, pokir adalah tentang rakyat—dan tanah yang kering hanya akan tumbuh subur jika diolah bersama, bukan diperebutkan.
FAUZI
0Komentar